Bid'ah Dalam Islam





Oleh Muhammad Zen

Kita seringkali mendengar kata bid’ah digunakan dalam banyak majelis-majelis agama, dan kitapun sering menyaksikan sebagian kelompok menggunakan kata ini untuk menuduh sebagian kelompok yang lain. Memang secara umum bid’ah dipahami sebagai suatu bentuk kesesatan dalam agama, akan tetapi jika kita tidak memahami apa itu bid’ah sebenarnya dan dengan mudah menuduh orang lain dengan tuduhan bid’ah, maka hal ini merupakan suatu bentuk kekeliruan dan ketergesa-gesaan.
Pada umumnya makna bid’ah yang ada di dalam benak kita terbatas hanya pada segala sesuatu yang tak dilakukan atau tak diucapkan oleh Nabi Saw., sehingga hasil dari pemaknaan sempit semacam itu akan menciptakan sebuah pemikiran yang kaku dan sikap yang menjurus kepada bentuk eksklusivitas kelompok. Hal yang lebih parah lagi adalah mengkristalnya pemikiran ini menjadi sebuah gerakan ekstrim yang berusaha mengembalikan “ajaran Islam” saat ini kepada bentuk yang ada pada zaman Rasul. Apa yang ada di zaman Rasul harus diadakan dan yang tidak ada pada zaman rasul harus ditiadakan.
Pada saat yang sama banyak sekali sesuatu yang pada zaman Rasul ada dan pada saat ini tidak ada, ataupun sebaliknya. Oleh sebab itu di sini kita mencoba menguraikan sekilas mengenai definisi bid’ah, baik itu menurut pendapat kalangan Suni ataupun Syiah. Pada akhirnya penjelasan singkat ini diharapkan dapat menjadi gambaran bagi kita dalam menindak lanjuti hal-hal yang berbau bid’ah dan yang berhubungan dengannya.

Bid’ah dalam kamus dan Quran:
 البدعةberasal dari kata  بدع yang dalam fi’il madhinya salah satunya bermakna ابتدع الشيء, وبدع الشيء yang artinya : استنبطه ، وأحدثه mencipta (sesuatu yang belum pernah ada) atau pun dari الابداع yang salah satu artinya  الجديدالمحدث yaitu perkara baru.  Ataupun dengan bentuk kata
بدع الشيء ، یبدعه ، بدعا ، وابتدعه  . memiliki makna   أنشأه (mengadakan , menjadikan, menciptakan)بدأه (mulai,memulai). Dan
والبدیع والبدع yakni   الشيء الذي یکون أولا (Sesuatu yang pertama kali adanya)1

Seperti halnya dalam Al-Quran:
قُلْ ما كُنْتُ بِدْعاً مِنَ الرُّسُلِ وَما أَدْري ما يُفْعَلُ بي‏ وَلا بِكُمْ
Katakanlah, “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara para rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu...2
والله بدیع السماوات والأرض
“Dan Allah menciptakan langit dan bumi” 3

Bid’ah menurut beberapa pendapat :
1. Dalam Sumber kitab-kitab Ahlussunnah:
a. Hadits
-  “كل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار”
“Seluruh bid’ah adalah sesat, dan seluruh yang sesat di neraka”(Sunan Nasai)4.  Hal senada juga terdapat di Shahih Muslim walaupun dengan tanpa mengutip kalimat  وكل ضلالة في النار5
 b. Pendapat Para Ulama Ahlussunnah :
Al-Rabî` juga meriwayatkan kenyataan yang sama bahwa Imam Al-Syâfi`î berkata kepada kami:
“Perkara baru yang diciptakan itu dua jenis (al-muhdathâtu min al-umûri darbâin):
Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah atau athar Sahabat, atau ijmâ’ para ulama’, maka bid‘ah seperti itu adalah sesat.
ما أحدث مما یخالف کتابا ، أو سنة ، أو أثراها ، أو إجماعا ، فهذه البدعة الضلالة
Kedua, ialah perkara baru yang diadakan dari kebaikan (mâ uhditha min al-khayr) yang tidak bertentangan dengan sumber-sumber yang telah disebutkan di atas, dan ini bukanlah bid‘ah yang tercela (wa hâdhihi muhdathatun ghayru madhzmûmah).
Berkenaan dengan sembahyang Terawih berjamaah di bulan Ramadhan, Umar berkata: “Alangkah cantiknya bid‘ah ini!” maksudnya ‘perkara baru’ yang diciptakan dan yang belum ada sebelumnya, tetapi tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah, athar Sahabat dan Ijma’.6
Pendapat serupa dikatakan ulama Suni lainnya , yang pada umumnya mereka membagi dua bid’ah dan mendefinikannya dengan makna bertentangan (یخالف) 7 seperti halnya pendapat Al-Ghazali 8 dan Qadi Abu bakar ibn Al-Arabi Almaliki9 ibnu hazm Al-Zahiri10, Ibnu Aljauzi (Kitab talbis Iblis).
Sebagian yang lain mendefinisikan bid’ah sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan qaidah Syar’iyyah11, selain itu ada juga beberapa pendapat yang sangat ekstrim yang diyakini kaum Salafi atau Wahabi dengan menafikan seluruh bentuk bid’ah termasuk seluruh bid’ah yang telah di sebutkan di atas12 dengan mengutip hadits An-Nasai dengan Sunannya yang mengatakan: “Seluruh bid’ah sesat dan setiap yang sesat di neraka”.

2. a. Hadits dari sumber kitab-kita Syiah :
Salah satu hadits dari mazhab Syiah yang mejelaskan masalah bid‘ah terdapat dalam Mustadrak Al-Wasail13, Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai sekalian manusia tidak ada sunnah setelah sunnahku (Nabi Saw. dan Imam maksum as. merupakan bagian dari sunnah yang diyakini mazhab Syiah dengan bersumber pada Al Quran dan hadits Rasulullah Saw.14), dan barangsiapa yang mengklaim sebuah perkara sebagai sunnah (yang bukan dariku) serta mengajak orang lain ke dalam perkara tersebut, hal itu termasuk bid’ah dan orang yang melakukannya masuk neraka”. Hal yang serupa juga terdapat dalam kitab lainnya semisal Nahjul Balaghah  : “Bid’ah itu adalah membuat sesuatu yang baru berdasar hawa nafsunya, dan tidak bersandar kepada sumber-sumber yang haq (yakni Quran dan sunnah)”.15
b.  Pendapat ulama syiah
Ibn Hajar ‘Asqalani : Maksud dari bid’ah adalah apa-apa yang baru dan tidak terdapat di dalam syariat, akan tetapi apa-apa yang terdapat dalam syariat atau yang berdalil dengannya maka hal tersebut bukanlah bid’ah.16
Alamah Majlisi : Bid’ah dalam syariat adalah apa-apa yang baru setelah Rasulullah Saw. dan tak terdapat secara khusus pada nash, dan bukan termasuk sesuatu yang “umum”, atau terdapat larangan padanya secara khusus atau umum.17

Simpulan Singkat
Pada dasarnya Suni dengan Syiah berpendapat sama pada sebagian definisi yaitu bahwa bid’ah adalah sesuatu yang tidak ada di zaman nabi dan baru di zaman sekarang tetapi perbedaannya ada pada masala:
1. Sebagian ulama Suni berpendapat bahwa bid’ah adalah perkara yang tidak ada di zaman Nabi Saw. tetapi dilakukan pada zaman sekarang. Dan bid’ah itu sendiri terbagi dua : tak bertentangan dengan nash (bid’ah hasanah) ataupun yang bertentangan (dalalah/sayyi’ah). Disini telihat adanya makna yang bertentangan (kontradiktif) dengan hadits dari sumber mereka sendiri seperti yang tertulis dalam Shahih Muslim ataupun Sunan Nasai yang mengatakan semua bid’ah adalah sesat.
2. Sebagian yang lain adalah pendapat Salafi dan Wahabi yang pada umumnya berpendapat bahwa semua perkara yang tidak ada di zaman nabi dan ada di zaman sekarang secara lisan dan perbuatan Rasul Saw. maka hal tersebut dikatakan bid’ah tanpa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Akan tetapi ketika berhadapan dengan masalah tarawih yang difatwakan Umar, dan masalah lainnya, mereka menjawab bahwa dalil dari para sahabat Nabi Saw. merupakan salah satu nash mereka, jadi hal tersebut tidak dikatakan bid’ah, walaupun di zaman nabi tidak dilakukannya, karena mereka berpendapat semua yang dilakukan sahabat (terutama Khalifah yang empat) merupakan hujjah juga bagi mereka. Sebagian lain menjawab bahwa hal tersebut adalah bid’ah lughawiah bukan Syar’iyyah karena bid’ah Syar’iyyah adalah haram.18 Maksudnya mereka berpendapat bahwa terawih secara lughawi adalah bid’ah akan tetapi secara af’al syar’iyyah bukanlah bid’ah karena telah dicontohkan oleh sahabat Nabi Saw. Dalam kenyataannya mereka akan terjebak kepada masalah hukum di zaman sekarang yang tak ada contohnya di kedua zaman tersebut, baik itu di zaman Nabi atau para sahabatnya. Sehingga Ijtihad yang keluar dari pendapat ulama mereka merupakan ijtihad yang bersumber dari pemikiran sendiri, dan keluar dari sumber-sumber nash yang mereka yakini. Atau konsekuensi kedua adalah mereka harus menghapuskan perkara yang tak ada di kedua zaman tersebut yang ada di zaman sekarang, walaupun perkara tersebut banyak manfaatnya untuk umat di zaman sekarang.
3. Dengan memperhatikan keyakinan dalam mazhab Syiah bahwa seluruh perkara sudah ada hukumnya (dalam kitabullah dan sunnah nabinya)19 baik berupa khusus ataupun hanya hukum yang umum, maka bid’ah disini adalah yang bertentangan dengan sumber hukum tersebut. Seperti halnya pendapat masyhur ulama yang mengatakan bahwa dalam masalah bid’ah kita harus melihat kaidah umum dan khusus, karena ada sebagian hukum yang bersifat umum dan belum ada khususnya di zaman Nabi saw. dan Imam maksum as., di sisi lain ada sebagian hukum yang khusus di zaman Nabi dan Imam maksum as. Baik berupa perkataan, perbuatan, maupun takrirnya. Jika bertentangan dengan ushul Syariah dan sunnah (Nabi Saw. maupun Imam maksum as.) maka hal tersebut dikatakan bid’ah, artinya jika perkara yang tidak bercabang dan bertentangan dengan yang umum maka hal tersebut dikatakan bid’ah, seperti yang telah dijelaskan oleh Alamah Majlisi, tanpa membagi bid’ah hasanah ataupun dalalah, karena di satu sisi Syiah juga meyakini bahwa semua bid’ah adalah sesat20. Oleh sebab itu dalam mencari hukum sesuatu yang seakan-akan baru di zaman sekarang pada masa ghaibnya Imam Zaman maka harus merujuk kepada sumber nashnya, dan hal ini memerlukan upaya istinbath hukum oleh orang-orang yang paham dibidangnya. []

Dafar Pustaka:
1. Lisanul Arab, Kamus Al-Munawir
2. Qs:46:9
3. Qs:2:17, Qs:6:101
4. Sunan nasai jilid 2, hal 188-189
5. Shahih  Muslim jilid 2, hal 592
6.  dari al-Rabî` oleh al-Bayhaqî dalam Madkhal dan Manâqib al-Shâfi`î beliau (1:469) dengan sanad sahih seperti yang disahkan oleh Ibn Taymiyyah dalam Dâr’ Ta`ârud al-`Aql wa al-Naql (hal. 171).
7. Qawa’idul ahkam fi masailil anam 2/172
8. Ihyâ’ `Ulûm al-Dîn 1:276
9. Ibn al-`Arabî, `A rid at al-Ahwadhî 10:146-147
10. Ibn Hazm, al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm 1:47
11. Al-‘Itisham 1/37
12. Al-‘Itiqad ‘ala mazahib Al-Salaf , 114, ‘ahd jadid
13. Mustadrak Al-Wasail jilid 11 hal 87
14. Dalil Bahwa Imam maksum as (ahlulbait nabi as) adalah sunnahnya nabi saww yang harus diikuti :
a. Ayat Ath-Thahrir : Qs Al-Ahzab : 33 diamana ahlulbait disini adalah Imam maksum as menurut sumber hadits suni dan syiah dan mereka adalah maksum dan kemaksuman merupakan salah satu dalil untuk diikuti, karena maksum berarti tak ditemukannya kesalahan baik pikiran, keyakinan, ataupu perbuatan dan hal itu berarti sesuai dengan keinginan Allah dan rasulNya saww.
b. Ayat Ulil Amri : Qs Annisa 59 . dimana kita harus mentaati Allah dan rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu, Yang dimaksud ulil amri disini adalah Imam maksum terkhusus kepada Imam Ali as (bersumber dari tafsir Al-Quran Suni dan Syiah). Dan ketaatan disana merupakan ketaan tanpa syarat serupa dengan ketaatan kepad Allah dan rasul-Nya, sehingga keniscayaan bahwa ketaatan tanpa syarat menunjukkan kemaksuman dari imam maksum tersebut.
c. Hadits Tsaqalain : dengan berbagai seumber dari suni dan syiah yang berisi bahwa Rasul meninggalkan dua pusaka yaitu Al-Quran dan Itrahnya, dimana kalau kita berpegang kepada mereka maka tak akan tersesat selama-lamanya. Itrah disini adalah imam Maksum as.
d. dan masih banyak lagi hadits yang lain disini hanya digambarkan beberapa saja.
15. Al-Maktabah Al-Shamilah hal 50 juz 1
16. Fathul bari , jilid 13, halaman 212
17. Biharul Anwar, jilid 71 halaman 202-203
18. Al-bahits ‘ala inkar Al-bid’i wa al hawaditsi halaman 93-95
19. Al-Kafi jilid 1, hal. 62.
اكل شيء في كتاب الله و سنة نبيه او تقولون فيه ؟ فقال : بل كل شيء في كتا ب الله و سنة نبيه
20. Al-Maktabah Al-Shamilah, Tahzibul Ahkam, juz 61 halaman 14.
وإن كل بدعة ضلالة وكل ضلالة سبيلها إلى النار