Imam
Jakfar Shadiq as dilahirkan pada hari Jumat, 17 Rabiul Awal 83 H di
kota Madinah, dan beliau syahid pada 25 Syawal 148 H. Ayah Imam Shadiq
adalah Imam Muhammad al-Baqir as. Lembaran sejarah kehidupan beliau
merupakan periode yang dipenuhi berbagai peristiwa penting dalam sejarah
Islam. Perebutan kekuasaan antara Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiah
memicu beragam problematika sosial dan politik di tengah masyarakat.
Di
luar gejolak politik yang panas, ketika itu berbagai pemikiran merasuki
masyarakat Islam. Umat Islampun menyambut berbagai gelombang pemikiran
dan budaya asing yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Bersamaan
dengan berkembangannya pengajaran berbagai cabang ilmu pengetahuan
seperti kedokteran, astronomi, fisika, matematika dan disiplin ilmu
lainnya, umat Islampun menyerap berbagai ideologi pemikiran dari luar,
termasuk yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam situasi dan
kondisi demikian, Imam Shadiq tampil meluruskan keyakinan umat Islam
yang telah menyimpang melalui berbagai kajian ilmiah seperti diskusi dan
debat ilmiah. Beliau menunjukkan kelebihan Islam dibandingkan berbagai
aliran pemikiran dengan argumentasi dan logika yang kokoh.
Ketidaklayakan
para khalifah Bani Abbasiah dan rendahnya komitmen mereka terhadap
Islam, serta ketidakpeduliannya terhadap kepentingan rakyat, menimbulkan
kekacauan di kalangan masyarakat Islam. Saat itu, pemikiran ateisme
tersebar luas di tengah masyarakat, sementara para mubaligh pun
kebanyakan hanya menjadi juru bicara pemerintah. Khalifah Bani Abbasiah
yang tidak berbeda dengan bani Umayah, hanya memanfaatkan agama untuk
mencapai tujuannya. Dengan gerakan yang jelas dan terarah, Imam Shadiq
as memurnikan keyakinan dan pemikiran Islam dari penyimpangan yang
berkembang di masyarakat kala itu. Beliau menjawab berbagai keraguan
masyarakat tentang agama dan menjelaskan pokok-pokok penting pengetahuan
agama dan ilmu-ilmu al-Quran dengan metode ilmiah.
Imam
Shadiq as mendidik murid-murid besar di antaranya Hisyam bin Hakam,
Muhammad bin Muslim dan Jabir bin Hayan. Sejarah menyebutkan bahwa
murid-murid Imam Shadiq as mencapai 4000 orang. Sebagian dari mereka
memiliki berbagai karya ilmiah yang tiada tara di zamannya. Misalnya
Hisyam bin Hakam menulis 31 buku. Jabir bin Hayan menulis lebih dari 200
buku dan pada abad pertengahan, karya tersebut diterjemahkan ke
berbagai bahasa Eropa. Mufadhal juga merupakan salah satu murid
terkemuka Imam Shadiq as yang menulis buku "Tauhid Mufadhal".
Imam
Shadiq memainkan peran penting dalam gerakan pemikiran dan budaya
al-Quran. Beliau juga mengajarkan dengan baik kedudukan Ahlul Bait
Rasulullah sebagai imam umat Islam. Imam mengajak manusia untuk
merenungi ayat al-Quran. Terkait hal ini, Imam Shadiq berkata, "Quran
merupakan cahaya petunjuk seperti pelita di malam hari. Maka orang-orang
yang berpikir harus mengkajinya dengan teliti."
Ketika
al-Quran berada di tangannya, Imam Shadiq dalam sebuah munajat dan doa
memohon kepada Allah swt, "Ya Allah aku bersaksi bahwa al-Quran adalah
dari-Mu yang turun kepada Rasulullah. Al-Quran adalah kalam-Mu yang
disampaikan Rasulullah. Ya Allah, jadikanlah memandang Quran sebagai
ibadah, dan terimalah bacaanku dan tafakurku. Engkau Maha Rahman dan
Rahim." (Bihar al-Anwar jilid 82 hal, 207)
Imam
menggunakan lisan dan tulisan dalam perlawanan menghadapi penguasa
lalim. Sejarah membuktikan, jika beliau memiliki pasukan yang kuat dan
pemberani, tentu saja manusia mulia itu akan mengangkat senjata
menghancurkan rezim lalim di zamannya.
Setiap
kali ada kesempatan, Imam Shadiq as selalu melakukan perlawanan
terhadap pemimpin zalim dengan senjata ilmu dan penanya. Imam berkata, "Barang
siapa yang memuji pemimpin zalim dan tunduk di hadapannya agar
mendapatkan keuntungan dari pemimpin tersebut, maka ia akan berada dalam
kobaran api neraka bersama pemimpin zalim itu". Di luar itu, Imam
Shadiq melihat lemahnya pemikiran dan budaya umat Islam sebagai
prioritas perjuangannya. Untuk itulah beliau memfokuskan dakwahnya untuk
memperkuat keyakinan keagamaan umat Islam.
Abu
Hanifah, pemimpin mazhab Hanafi mengungkapkan kalimat indah tentang
keagungan Imam Shadiq as. Abu Hanifah sendiri merupakan cendekiawan yang
terkenal di masa itu. Suatu hari Khalifah Mansur yang begitu dengki
dengan keagungan Imam Shadiq as mengusulkan kepada Abu Hanifah untuk
menggelar ajang debat dengan Imam Shadiq. Khalifah meminta Abu Hanifah
merancang pertanyaan yang sulit sehingga dengan cara itu pamor Imam
Shadiq as diharapkan akan turun ketika tak bisa menjawabnya.
Abu Hanifah mengatakan, "Aku
telah siapkan 40 pertanyaan yang sulit kemudian aku menemui Mansur.
Saat itu Imam Shadiq as juga berada dalam pertemuan tersebut. Ketika
melihatnya aku begitu terpesona hingga aku tidak bisa menjelaskan
perasaanku di waktu itu. 40 masalah aku tanyakan kepada Jakfar bin
Muhammad. Beliau menjelaskan masalah tersebut tidak hanya dari
pandangannya sendiri namun ia mengungkapkan pandangan berbagai mazhab.
Di sebagian masalah ada yang sepakat dengan kami dan sebagian
bertentangan. Terkadang beliau menjelaskan pula pandangan yang ketiga.
Ia menjawab 40 soal yang aku tanyakan dengan baik dan terlihat sangat
menguasainya hingga aku sendiri terpesona oleh jawabannya. Harus kuakui,
tidak pernah kulihat orang yang lebih faqih dan lebih pandai selain
Jakfar bin Muhammad. Selama dua tahun aku berguru padanya. Jika dua
tahun ini tidak ada, tentu aku celaka".
Khalifah
Mansur pun merasakan posisinya makin terancam. Lalu, ia meracuni Imam
Shadiq as hingga akhirnya beliau gugur syahid pada 25 Syawal 148 H.
Di akhir acara ini, kita mengambil berkah dari petuah mulia Imam Shadiq. Beliau berkata,"Muslim
yang mengenal kami (Ahlul Bait) adalah orang yang ilmunya bertambah
setiap hari, dan selalu melakukan introspeksi dirinya. Ketika melihat
kebaikan, ia selalu meningkatnya. Namun ketika melihat dosa ia memohon
ampunan supaya terjaga di hari kiamat."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar