engenai Ahlul Bait:
Dengan
mencermati bahwa "cinta dunia adalah sumber segala dosa", pengalaman
juga membuktikan bahwa segala bentuk kejahatan, kezaliman, kebohongan,
pengkhianatan dilakukan akibat kecintaan akan harta, posisi dan syahwat.
Dengan demikian, menjadi jelas juga bahwa sifat zuhud yang menjadi
kebalikan dari sifat cinta dunia merupakan dasar ketakwaan, kesucian dan
kebaikan. Tapi perlu dicamkan bahwa zuhud jangan dimaknai sebagai
meninggalkan dunia dan mengasingkan diri dari masyarakat. Karena makna
sejati zuhud adalah kebebasan dan tidak ditawan oleh cengkeraman dunia.
Dengan
demikian, seorang disebut zuhud bila memiliki seluruh dunia di
tangannya, tapi pada saat yang sama ia tidak memiliki kebergantungan
dengannya. Bila suatu hari ia merasa bahwa keridhaan Allah ada pada
kesiapannya untuk meninggalkan segalanya, maka ia senantiasa siap setiap
saat untuk melakukannya. Dari dalam jiwa dan sanubarinya ia mengatakan,
"Berikan segalahnya kepada musuh, tapi sisakan cinta-Mu kepadaku." Bila
suatu hari demi melindungi kebebasan dan keimanan ia harus merelakan
harta dan jiwanya, maka ia akan berteriak gagah, "Haihata Minnadz
Dzillah" (Pantang Hina).
Menurut
al-Quran, orang yang zuhud tidak pernah menyesali apa yang telah lewat
dan hilang darinya dan juga tidak gembira sekali dengan apa yang ada
padanya. Allah Swt dalam surat al-Hadid ayat 23 berfirman, "(Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa
yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap
apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong lagi membanggakan diri."
Dengan
pendahuluan sederhana ini, kita perlu memahami kepribadian Sayidah
Fathimah az-Zahra as dalam hadis-hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan
Ahli Sunnah.
Ibnu Hajar dan ulama lain dalam sebuah riwayat dari Rasulullah Saw menukil:
"Ketika
Rasulullah Saw kembali dari perjalanan, maka orang pertama yang ditemui
beliau adalah putrinya Fathimah az-Zahra as. Untuk beberapa waktu lama
beliau berada di rumah Sayidah Fathimah as. Suatu ketika ada yang
membuatkan Sayidah Fathimah as dua buah gelang dari perak, begitu juga
kalung dan dua anting-anting, lalu barang-barang itu digantung oleh
Sayidah Fathimah di korden yang terletak di kamar.
Saat
Rasulullah Saw masuk ke rumah putrinya dan melihat pemandangan ini,
seketika wajah beliau berubah dan tampak marah, tapi kemudian beliau
keluar menuju masjid dan duduk di atas mimbar.
Sayidah
Fathimah as mengetahui bahwa Rasulullah Saw tidak senang melihat
sedikit perhiasan yang ada. Beliau kemudian memutuskan untuk mengirimkan
perhiasan itu kepada ayahnya agar dimanfaatkan di jalan Allah. Ketika
perhiasan itu sampai dan diberikan kepada Rasulullah Saw, seketika
beliau bersabda, "Fa'alat, Fidaha Abuha" yang berarti, "Fathimah
melakukan apa yang diinginkan ayahnya. Ayahnya menjadi tebusannya."
Semua
pasti sepakat bahwa sepasang gelang dan anting-anting dan sebuah kalung
yang dibuat dari perak tidak begitu berharga. Perhiasan itu menjadi
lebih tidak berharga lagi ketika digantungkan di kain korden yang
sederhana. Tapi Nabi Muhammad Saw melihat hal ini tidak sesuai dengan
kepribadian Fathimah. Karena beliau melihat kebanggaan dan keutamaan
terletak pada kemuliaan akhlak manusia.
Sayidah
Fathimah az-Zahra dengan cepat menangkap pelajaran yang diajarkan
ayahnya dan segera meninggalkan perhiasan dunia itu serta membebaskan
dirinya dari tawanan dunia. Oleh karenanya, dengan mudah beliau
menyerahkan apa yang ada padanya untuk dimanfaatkan di jalan Allah.
Dalam
buku Hilyah al-Auliya disebutkan bahwa Sayidah Fathimah as bahkan tidak
memiliki pakaian yang pantas di rumah ketika tamu datang. Oleh
karenanya, Rasulullah Saw memberikan jubahnya kepada putrinya untuk
menutupi dirinya.
Kisah
mas kawin Sayidah Fathimah as dan acara walimah beliau diselenggarakan
dalam kondisi yang sangat sederhana yang menjadi bukti lain kezuhudan
beliau.
Pengorbanan
beliau di rumah dilakukan dengan begitu ikhlas. Bagaimana tidak, dii
rumah beliau harus menghaluskan gandum dengan satu tangannya, sementara
tangan yang lain menggendong anak. Buku Hilyah al-Auliya menukil,
"Fathimah, putri Rasulullah menggiling gandum dengan tangannya bengkak
dan bekasnya terlihat di tangannya."
Dalam
buku hadis Musnad Ahmad diriwiyatkan dari Anas bin Malik mengatakan,
suatu hari Bilal terlambat mendatangi Rasulullah Saw untuk melaksanakan
shalat Subuh. Pada waktu itu Rasulullah Saw bertanya, "Mengapa engkau
terlambat datang?"
Bilal
menjawab, "Waktu itu saya melewati rumah Fathimah as dan saya
menyaksikannya menggiling gandum dan anaknya menangis. Saya lalu berkata
kepadanya, "Bila engkau mengizinkan saya, maka biarkan saya yang
menggiling gandum dan engkau mendiamkan tangisan anak." Beliau
mengatakan, "Saya lebih lembut dalam menghadapi anakku." Akhirnya saya
memilih untuk menggiling gandum."
"Inilah alasan mengapa saya datang terlambat," ujar Bilal.
Nabi kemudian mendoakan Bilal, "Engkau begitu perhatian kepada Fathimah dan semoga Allah merahmati engkau."
Keutamaan
akhlak Sayidah Fathimah az-Zahra seperti keberanian dalam membela
ayahnya di hadapan orang-orang Musyrik di Mekah dan kedatangannya di
medan perang Uhud untuk mengobati luka yang diderita Rasulullah Saw
tidak dapat dipungkiri oleh siapapun.
Sayidah
Fathimah as sejak lahir, kehidupannya dilalui di jalan penghambaan
kepada Allah Swt dan hal itu dilakukan oleh beliau hingga akhir
hayatnya.
Dalam
buku Dzakhair al-‘Uqba diceritakan mengenai kisah kelahiran Sayidah
Fathimah as, buah dari surga dan hadirnya para perempuan seperti Maryam
dan Hawa di saat kelahirannya. Hadis itu berbunyi, "Demikianlah
kelahiran Sayidah Fathimah as dan ketika lahir, beliau langsung
bersujud."
Sumber: Bartarin Banou-ye Jahan Fathimah Zahra as, Ayatullah Makarem Shirazi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar