Minggu, 24 Februari 2013

ULIL AMRI: APAKAH ITU ARTINYA PARA PEMIMPIN MUSLIM?


يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah  dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisaa: 59)
.
Banyak dari saudara-saudara kita dari kalangan Ahlus Sunnah yang cenderung untuk menerjemahkan “ulil amri” sebagai “para pemimpin diantara kalian” yaitu para pemimpin yang ada di kalangan kaum Muslimin. Terjemahan atau tafsiran ini tidak didasarkan atas akal sehat atau logika melainkan atas dasar kejadian-kejadian yang pernah terjadi di kalangan kaum Muslimin. Mayoritas kaum Muslimin menjadi pendukung kekuasaan monarki beserta para pemimpin yang dilahirkan darinya. Kaum muslimin dipaksa sejarah untuk menafsirkan dan menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Qur’an hanya demi menggembirakan dan menyenangkan hati para pemimpin Muslim yang sedang berkuasa.
.
Sejarah Islam dan kaum Muslimin (sama halnya seperti sejarah bangsa-bangsa lainnya di dunia) selalu dihubung-hubungkan dengan nama-nama para pemimpin yang dzalim, tidak adil, suka berbuat tidak senonoh, dan gila kekuasaan serta memiliki sifat diktator dalam dirinya. Para pemimpin itu telah mencemarkan nama baik Islam seperti yang sudah kita ketahui dalam sejarah. Para pemimpin seperti itu selalu ada dan terlahir di sepanjang sejarah umat Islam. Dalam al-Qur’an kita diberitahu bahwa ada sekelompok manusia yang disebut dengan sebutan ULIL AMRI yang ketaatan kepada mereka itu disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan RasulNya.
.
Apabila Allah memerintahkan kita untuk mentaati raja-raja dan para pemimpin yang dzalim dan berakhlaq rendah seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi kebingungan dan kerancuan di dalam tubuh umat Islam. Lihatlah ayat tersebut di atas………kita harus taat (أطيعو) kepada Allah, RasulNya dan juga kepada para pemimpin (ulim amri). Apabila pemimpin yang kita taati itu ialah para pemimpin yang dzalim dan kemudian kita ikuti dia, maka kita sudah bertentangan dengan kehendak Allah. Allah melarang kita untuk mengikuti, patuh dan taat terhadap orang-orang dzalim. Akan tetapi kalau kita tidak mematuhi para pemimpin itu, maka kita dikenai lagi oleh ayat tersebut yang menyuruh kita untuk menaati para pemimpin. Jadi kalah kita menafsirkan ayat itu seperti itu maka kita akan kebingungan ibarat memakan buah simalakama (dimakan ibu mati tak dimakan ayah mati). Kita menjadi salah tingkah dan sakit jiwa. Itu akan terjadi kalau kita selalu menafsirkan ayat itu seperti itu; kita menafsirkan ulil amri  sebagai sembarang pemimpin asal ia sah dan memiliki kekuasaan.
.
Seorang ahli tafsir al-Qur’an dari kalangan Ahlus Sunnah yang bernama Fakhru ‘d-Din ar-Razi menuliskan dalam tafsirnya Tafsiru ‘l-kabir (lihat: ar-Razi: at-Tafsiru ‘l-kabir, volume 10, halaman 144) bahwa ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa ulil amri itu haruslah orang-orang yang ma’shum. Ar-Razi mengomentari bahwa Allah telah memerintahkan kita untuk taat (أطيعو) kepada ulil amri tanpa syarat sama sekali; oleh karena itu, ulil amri itu seharusnya orang yang ma’shum (terjaga dari dosa). Karena kalau ulil amri itu berbuat dosa (dan berbuat dosa itu terlarang hukumnya), maka itu artinya kita harus ‘taat’ kepada mereka dan juga harus ‘tidak taat’ kepada mereka sekaligus! Dan ini jelas sama sekali suatu kemustahilan! Fakhru ‘d-Din ar-Razi takut orang-orang akan menjadi pengikut Ahlul Bayt, maka oleh karena itu ia cepat-cepat menambahkan dalam tafsirnya dengan penemuannya yang belum pernah ditemukan orang lain. Ia mengemukakan sebuah teori bahwa Umat Islam secara keseluruhan sebagai suatu kesatuan itu ma’shum!!!! (sedangkan kalau berdiri sendiri-sendiri itu tidak ma’shum!!!)
.
Ini adalah tafsir yang sangat unik dan belum pernah ditulis orang sebelumnya (jadi Ar-Razi itulah penemunya). Teori ini sama sekali tidak berdasarkan hadits apapun atau sunnah apapun. Sangat mengejutkan sekali mengetahui bahwa Ar-Razi sendiri memang mengakui bahwa umat Islam secara individual bukanlah manusia yang ma’shum; jadi tidak ada seorang Muslim pun (menurut Ar-Razi) yang ma’shum akan tetapi apabila mereka tergabung menjadi suatu kesatuan mereka adalah umat yang ma’shum. Jadi secara keseluruhan umat Islam itu ma’shum. Ini menggelikan mengingat seorang anak SD pun tahu kalau 200 sapi ditambah 200 sapi pastilah hasilnya 400 sapi dan tidak mungkin jadi seekor kuda!
.
Akan tetapi Ar-Razi mengemukakan bahwa 70 juta Muslimin yang tidak ma’shum ditambah 70 juta Muslim lagi yang sama tidak ma’shum-nya akan menghasilkan seorang Muslim yang ma’shum! Apakah Ar-Razi berkehendak untuk mengatakan bahwa apabila kita menggabungkan seluruh pasien rumah sakit jiwa akan menghasilkan satu orang yang waras?
.
Seorang pujangga kenamaan bernama Dr. Iqbal telah berkata:
Otak-otak dari dua ratus ekor keledai takkan pernah menghasilkan otak sehat milik seorang manusia
.
Jelas sekali dengan pengetahuan seperti ini Ar-Razi seharusnya  akan mudah menyimpulkan bahwa seorang Ulil Amri itu haruslah seorang yang ma’shum (terjaga dari dosa), akan tetapi sikap prejudice-nya (seperti diterangkan di atas—red) telah menghalangi beliau sampai pada keputusan seperti itu. Alih-alih begitu, Ar-Razi malah menyimpulkan bahwa Umat Islam itu secara keseluruhan adalah ma’shum.
.
Juga harus ditekankan di sini bahwa ayat tersebut mengandung kata minkum (diantaramu); jadi bukan keseluruhan melainkan sebagian dari kaum Muslimin. Kalau yang dimaksud oleh Ar-Razi itu keseluruhan umat (karena hanya dengan bentuk keseluruhan-lah umat Islam itu menjadi ma’shum seperti yang disebutkan oleh Ar-Razi—red) maka Ulil Amri itu adalah keseluruhan umat dan dengan demikian Ulil Amri tidak lagi memiliki pengikut atau rakyat yang dipimpinnya. Sedangkan apabila hanya satu orang saja dari kaum Muslimin, Ar-Razi berkata bahwa umat Islam secara individu itu tidak ada yang ma’shum; jadi Ulil Amri yang terpilih menjadi tidak ma’shum (menurut teori Ar-Razi)
.
Walhasil……….teori tersebut sangat membingungkan karena:
1. Tidak diambil dari khasanah Islam. Tidak dari Al-Qur’an tidak dari Hadits
2. Teori itu dibuat karena terpaksa. Ar-Razi dengan segenap kecerdasannya tahu bahwa Ulil Amri itu haruslah seorang yang ma’shum; akan tetapi ia tidak mau menyebutkan bahwa ada orang ma’shum setelah atau sepeninggal Nabi yang akan menjadi pemimpin karena kalau ia berkeyakinan seperti itu, maka ia sebenarnya telah menjadi syi’i karena hanya orang syi’i –lah yang memiliki keyakinan seperti itu. Orang syi’i percaya bahwa sepeninggal Nabi ada orang-orang yang harus mereka patuhi dan taati (Ulil Amri) yang tidak lain adalah para Imam ma’shumin (para Imam yang telah dijaga Allah dari perbuatan dosa)
.
(kalau kita mengambil sesuatu yang tidak berasal dari Allah maka hasil akhirnya akan sama yaitu suatu kesia-siaan. Ar-Razi tahu benar akan kandungan ayat itu, tapi beliau menghindar dari arti sebenarnya dari ayat itu dan ia menemui kesia-siaan. Ia tidak berhasil mempertahankan teorinya yang ia buat sendiri—red)
.
Ulama Ahlusunnah seperti Fakhrul Rāzī, seorang ahli Tafsir tersohor Ahlusunnah turut memahami kemaksuman Ūlī Al-’Amr. Beliau mengatakan:
فثبت أن الله تعالى أمر بطاعة أولي الأمر على سبيل الجزم، وثبت أن كل من أمر الله بطاعته على سبيل الجزم وجب أن يكون معصوما عن الخطأ، فثبت قطعا أن أولي الأمر المذكور في هذه الآية لا بد وأن يكون معصوما.
الرازي الشافعي، فخر الدين محمد بن عمر التميمي (متوفاى604هـ)، التفسير الكبير أو مفاتيح الغيب، ج10، ص116، ناشر: دار الكتب العلمية – بيروت، الطبعة: الأولى، 1421هـ – 2000م.
Maka sabitlah perintah Allah tentang kemestian taat kepada Ūlī Al-’Amr, dan sabitlah juga setiap perintah Allah wajiblah hendaklah maksum dari kesalahan. Sudah tentu Ūlī Al-’Amr yang disebut di dalam ayat ini tidak boleh tidak maksum. – Al-Rāzī Al-Shāfī’ī, Fakhruddīn Muḥammad bin ʽUmar Al-Tamīmī (meninggal dalam tahun 604 Hijrah), Tafsir Al-Kabīr Aw Mafātīḥ Al-Ghayb, jilid 10, halaman 116.
Walau bagaimana pun ketaatan secara mutlak dalam perbahasan dalil akal akan diterangkan secara berasingan nanti.
Ketaatan pada Rasulullah dan para Imam secara mutlak
Allah (s.w.t) di dalam ayat 80 surah An-Nisā berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَما أَرْسَلْناكَ عَلَيْهِمْ حَفيظاً.
Sesiapa yang taat kepada Rasulullah, maka sesungguhnya ia telah taat kepada Allah; dan sesiapa yang berpaling ingkar, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pengawal.
Di dalam ayat ini Allah (s.w.t) mewajikan ketaatan terhadap-Nya dan Rasul-Nya. Firman ini merupakan perintah Mutlak dan ia adalah salah satu dalil naqlī terbaik untuk kemaksuman Nabi.
Perkara ini juga diterangkan di dalam riwayat secara umum dan khusus. Bukharī di dalam Ṣaḥīḥnya menukilkan:
حدثنا محمد بن سِنَانٍ حدثنا فُلَيْحٌ حدثنا هِلَالُ بن عَلِيٍّ عن عَطَاءِ بن يَسَارٍ عن أبي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إلا من أَبَى قالوا يا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قال من أَطَاعَنِي دخل الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى.
البخاري الجعفي، ابوعبدالله محمد بن إسماعيل (متوفاى256هـ)، صحيح البخاري، ج6، ص2655، ح6851، تحقيق د. مصطفي ديب البغا، ناشر: دار ابن كثير، اليمامة – بيروت، الطبعة: الثالثة، 1407 – 1987.
Abu Hurayrah berkata, Rasulullah (s.a.w) bersabda: Setiap umatku akan masuk ke dalam syurga kecuali mereka yang ingkar. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, siapakan yang ingkar? Baginda menjawab: Barangsiapa yang menaatiku, maka ia akan masuk syurga. Barangsiapa yang menderhakaiku maka ia telah ingkar. – Abū ʽAbduLlah Muḥammad bin Ismāʽīl (meninggal tahun 256 hijrah), Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī, jilid 6 halaman 2655.
Oleh itu ketaatan mutlak kepada Rasulullah menurut ayat ini adalah wajib untuk semua orang sama seperti ketaatan kepada Allah (s.w.t). Ketaatan mutlak kepada mereka yang sama maksum denganbaginda adalah seperti yang ahli Tafsir terkenal Ahlusunnah Fakhrul Rāzī nyatakan:
قوله: «مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ» من أقوى الدلائل على أنه معصوم في جميع الأوامر والنواهي وفي كل ما يبلغه عن الله، لأنه لو أخطأ في شيء منها لم تكن طاعته طاعة الله وأيضا وجب أن يكون معصوما في جميع أفعاله، لأنه تعالى أمر بمتابعته في قوله: «فَاتَّبَعُوهُ» ( الأنعام: 153 155 ) والمتابعة عبارة عن الاتيان بمثل فعل الغير لأجل أنه فعل ذلك الغير، فكان الآتي بمثل ذلك الفعل مطيعاً لله في قوله: «فَاتَّبَعُوهُ» فثبت أن الانقياد له في جميع أقواله وفي جميع أفعاله، إلا ما خصه الدليل، طاعة لله وانقياد لحكم الله.
الرازي الشافعي، فخر الدين محمد بن عمر التميمي (متوفاى604هـ)، التفسير الكبير أو مفاتيح الغيب، ج10، ص154، ناشر: دار الكتب العلمية – بيروت، الطبعة: الأولى، 1421هـ – 2000م.
Firman Allah «مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ» adalah daripada dalil yang paling kuat tentang kemaksumannya di dalam seluruh perintah dan larangan, serta di dalam setiap apa yang disampaikannya daripada Allah. Kerana jikalau baginda tersalah dalam sesuatu daripadanya, maka ketaatan kepada baginda tidak menjadi ketaatan kepada Allah. Begitu juga wajiblah ia menjadi maksum dalam seluruh perbuatannya kerana Allah Taʽālā memerintahkan supaya baginda diikuti di dalam firmannya: «فَاتَّبَعُوهُ» ( الأنعام: 153 155 ) dan perkataan «فَاتَّبَعُوهُ» adalah mengerjakan perbuatan baik seperti yang dilakukan oleh baginda. Oleh itu barangsiapa yang mengerjakan perbuatan seperti yang dilakukan oleh nabi, maka ia menaati Allah seperti mana di dalam firmannya: «فَاتَّبَعُوهُ»; kesimpulannya pengikutan mutlak di dalam seluruh kata-kata dan seluruh perbuatannya adalah ketaatan kepada Allah dan hukum-hukum Allah, melainkan apa yang dikhususkan untuk baginda dengan dalil. – Al-Rāzī Al-Shāfiʽī, Fakhruddīn Muḥammad bin ʽUmar Al-Tamīmī (meninggal pada tahun 604 Hijrah), Tafsīr Al-Kabīr Aw Mafātīḥ Al-Ghayb, jilid 10 halaman 154.
Walau bagaimana pun maksud Fakhruddīn Al-Rāzī tentang ‘yang dikhususkan untuk baginda dengan dalil’ ialah perkahwinan lebih dari empat perempuan dan ciri-ciri lain pada Rasulullah yang telah disabitkan dengan dalil-dalil bahawasanya umat Islam tidak boleh melaksanakannya.
Telah dinukilkan dari jalan umum dalam riwayat yang bersanad ṣaḥīḥ yang lain bahawa Rasulullah (s.a.w) telah menyabitkan ketaatan mutlak untuk Imam setelahnya. Guru Al-Bukhārī, Ibnu Abī Shaybah di dalam kitab Muṣannaf menulis tentang ini:
حدثنا وكيع بن الجراح قال ثنا الأعمش عن أبي صالح عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من أطاعني فقد أطاع الله ومن أطاع الإمام فقد أطاعني ومن عصاني فقد عصى الله ومن عصى الإمام فقد عصاني.
إبن أبي شيبة الكوفي، ابوبكر عبد الله بن محمد (متوفاى235 هـ)، الكتاب المصنف في الأحاديث والآثار، ج6، ص418، ح32529، تحقيق: كمال يوسف الحوت، ناشر: مكتبة الرشد – الرياض، الطبعة: الأولى، 1409هـ.
Abu Hurayrah menukilkan daripada Rasulullah (s.a.w) bersabda: Barangsiapa yang taat padaku, maka ia taat pada Allah, barangsiapa yang taat kepada Imam, maka dia telah taat padaku, barangsiapa menderhakaiku maka ia telah menderhakai Allah, barangsiapa yang menderhakai Imam maka ia telah menderhakai Allah. – Ibnu Abī Shaybah al-Kūfī, Abū Bakar ʽAbduLlah bin Muḥammad (meninggal dalam tahun 235 Hijrah), Al-Kitāb Al-Muṣannaf Fī Al-Ahādīth Wa Al-Āthār, jilid 6 halaman 418.
Riwayat ini sahih menurut persanadannya. Walau bagaimana pun para perawi hadis tersebut akan di analisa sebaik mungkin:
Wakīʽ bin Jarrāh: Dhahabī menulis tentang beliau:
وكيع بن الجراح أبو سفيان الرؤاسي أحد الأعلام… قال أحمد ما رأيت أوعى للعلم منه ولا أحفظ..
الذهبي الشافعي، شمس الدين ابوعبد الله محمد بن أحمد بن عثمان (متوفاى 748 هـ)، الكاشف في معرفة من له رواية في الكتب الستة، ج2، ص350، رقم: 6056، تحقيق محمد عوامة، ناشر: دار القبلة للثقافة الإسلامية، مؤسسة علو – جدة، الطبعة: الأولى، 1413هـ – 1992م.
Wakīʽ bin Jarrāh, salah seorang yang tersohor… Aḥmad mengatakan: saya tidak melihat lagi orang yang menyimpan dan menghafal ilmu sepertinya. – Al-Dhahabī Al-Shāfiʽī, Shamsuddīn Abū ʽAbdiLlah Muḥammad bin Aḥmad bin Uthmān (meninggal dalam tahun 748 Hijrah), Al-Kāshif Fī Maʽrifah Man Lahu Riwāyah Fī Al-Kutub Al-Sittah, jilid 2 halaman 350.
Sulaymān bin Mahrān Al-Aʽmash: Dhahabi mengatakan tentangnya sebagai:
سليمان بن مهران الحافظ أبو محمد الكاهلي الأعمش أحد الأعلام.
الكاشف  ج1، ص464، رقم: 2132
Sulaymān biin Mahrān salah seorang yang masyhur. – Al-Kāshif, jilid 1 halaman 464.
Zakwān Abū Ṣāliḥ Al-Ziyāt: Dhahabī memperkenalkan beliau seperti berikut:
ذكوان أبو صالح السمان الزيات شهد الدار وروى عن عائشة وأبي هريرة وعنه بنوه عبد الله وسهيل وصالح والأعمش من الأئمة الثقات عند الأعمش عنه ألف حديث توفي بالمدينة سنة إحدى ومائة ع
الكاشف  ج1، ص386، رقم: 1489
Zakwān Abū Ṣāliḥ adalah salah seorang pemimpin yang thīqah. – Al-Kāshif, jilid 1 halaman 464.
Dengan ini seluruh sanad tersebut adalah Ṣaḥīḥ.
Aḥmad bin Ḥanbal menukilkan di dalam musnadnya:
حدثنا عبد اللَّهِ حدثني أبي ثنا أبو النَّضْرِ ثنا عُقْبَةُ يَعْنِى بن أبي الصَّهْبَاءِ ثنا سَالِمُ بن عبد اللَّهِ بن عُمَرَ ان عَبْدَ اللَّهِ بن عُمَرَ حدثه انه كان ذَاتَ يَوْمٍ عِنْدَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مع نَفَرٍ من أَصْحَابِهِ فَأَقْبَلَ عليهم رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فقال يا هَؤُلاَءِ أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ انى رسول اللَّهِ إِلَيْكُمْ قالوا بَلَى نَشْهَدُ انك رسول اللَّهِ قال أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ في كِتَابِهِ من أطاعني فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ قَالَُوا بَلَى نَشْهَدُ انه من أَطَاعَكَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وان من طَاعَةِ اللَّهِ طَاعَتَكَ قال فإن من طَاعَةِ اللَّهِ أَنْ تطيعوني وان من طاعتي أَنْ تُطِيعُوا أَئِمَّتَكُمْ أَطِيعُوا أَئِمَّتَكُمْ فَإِنْ صَلَّوْا قُعُوداً فَصَلُّوا قُعُوداً.
الشيباني،  ابوعبد الله أحمد بن حنبل (متوفاى241هـ)، مسند أحمد بن حنبل، ج2، ص93، ح5679، ناشر: مؤسسة قرطبة – مصر.
ʽAbduLlah bin ʽUmar menceritakan tentang suatu hari beberapa orang sahabat bersama Rasulullah (s.a.w). Baginda datang dan bertanya: Tahukah kalian bahawa saya adalah utusan Allah kepada kalian? Mereka menjawab: Bahkan iya, kami menyaksikan sesungguhnya engkau utusan Allah. Baginda bertanya: Tidakkah kalian tahu sesungguhnya Allah menurunkan di dalam kitabnya, barangsiapa yang taat padaku, maka ia taat kepada Allah? Mereka menjawab: Bahkan iya, kami saksikan bahawa barangsiapa yang taat pada engkau maka ia taat pada Allah. Barangsiapa yang taat pada Allah maka ia pun taat padamu. Baginda bersabda: Jikalau taat pada Allah adalah taat kepadaku, maka kewajipan kalian ialah taat pada para Imam sehinggakan jika mereka solat secara duduk, maka kalian pun hendaklah solat secara duduk. – Al-Shaybānī Abū ʽAdiLlah Aḥmad bin Ḥanbal (meninggal pada tahun 241 Hijrah), Musnad Aḥmad bin Ḥanbal, jilid 2 halaman 93.
Haythami setelah menukilkan riwayat ini berkata:
رواه أحمد والطبراني في الكبير ورجاله ثقات.
الهيثمي، ابوالحسن علي بن أبي بكر (متوفاى 807 هـ)، مجمع الزوائد ومنبع الفوائد، ج2، ص67، ناشر: دار الريان للتراث/ دار الكتاب العربي – القاهرة، بيروت – 1407هـ.
Telah diriwayatkan oleh Aḥmad dan Al-Ṭabrānī di dalam al-Kabīr, rijalnya adalah thīqah.
Di dalam riwayat lain yang Ṣaḥīḥ sanadnya menurut Sunnī dan Syiah, Rasulullah (s.a.w) telah memperincikan wajibnya ketaatan kepada baginda secara mutlak. Sabda Rasulullah:
أيها الناس من عصى عليا فقد عصاني، ومن عصاني فقد عصى الله عز وجل، ومن أطاع عليا فقد أطاعني، ومن أطاعني فقد أطاع الله.
الصدوق، ابوجعفر محمد بن علي بن الحسين (متوفاى381هـ)، معاني الأخبار، ص372، ناشر: جامعه مدرسين، قم، اول، 1403 ق.
Wahai manusia, barangsiapa yang menderhaka kepada Ali, maka ia telah menderhaka kepada ku. Barangsiapa yang menderhaka kepada ku, maka ia telah menderhaka kepada ku. Barangsiapa yang taat kepada Ali maka ia telah taat kepada ku. Barangsiapa yang taat kepadaku maka ia taat kepada Allah. – Al-Ṣadūq, Abū Jaʽfar Muḥammad bin ʽAlī bin Ḥusayn (meninggal dalam tahun 381 Hijrah), Maʽānī Al-Akhbār, halmaan 372.
Riwayat ini juga telah dinukilkan dalam kitab Ahlusunnah dengan sanad yang Ṣaḥīḥ:
أخبرنا أبو أحمد محمد الشيباني من أصل كتابه ثنا علي بن سعيد بن بشير الرازي بمصر ثنا الحسن بن حماد الحضرمي ثنا يحيى بن يعلى ثنا بسام الصيرفي عن الحسن بن عمرو الفقيمي عن معاوية بن ثعلبة عن أبي ذر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله ومن أطاع عليا فقد أطاعني ومن عصى عليا فقد عصاني.
Ḥakim Nishāburī mengatakan:
هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه
الحاكم النيسابوري،  ابو عبدالله محمد بن عبدالله (متوفاى 405 هـ)، المستدرك علي الصحيحين، ج3، ص131، ح4617، تحقيق: مصطفي عبد القادر عطا، ناشر: دار الكتب العلمية – بيروت الطبعة: الأولى، 1411هـ – 1990م.
Hadith ini mempunyai sanad yang Ṣaḥīḥ di mana kedua-dua Bukhārī dan Muslim tidak pernah mengeluarkannya. – Al-Ḥakim Al-Nishābūrī, Abū ʽAbduLlah Muḥammad bin ʽAbduLlah (meninggal pada tahun 405 Hijrah), Al-Mustadrak ʽAlā Al-Ṣaḥīḥayn, jilid 3 halaman 131.
Al-Dhahabī ketika meringkaskan riwayat dari Al-Mustadrak tersebut berkata:
صحيح.
المستدرك علي الصحيحين و بذيله التلخيص للحافظ الذهبي، ج3، ص121، طبعة مزيدة بفهرس الأحاديث الشريفة، دارالمعرفة، بيروت،1342هـ
Ṣaḥīḥ – Al-Mustadrak ʽAlā Al-Ṣaḥīḥayn, jilid 3 halaman 121.
Sementara itu golongan Ahlusunnah mempunyai kepercayaan bahawa jikalau suatu ḥadīth datang dari kitab Al-Mustadrak Al-Hakim, maka ḥadīth tersebut setara dengan riwayat dalam kitab Bukhārī dan Muslim.
Kesimpulannya, seperti yang dijelaskan oleh ulama Sunnī Fakhrul Rāzī ketaatan mutlak kepada Rasulullah (s.a.w) sama seperti menaati Allah (s.w.t) dan beliau juga telah membuktilkan kemaksuman baginda (s.a.w). Selain itu menurut sanad yang Ṣaḥīḥ  dari sumber Ahlusunnah dan Syiah, ketaatan kepada ʽAlī bin Abī Ṭālib sama seperti ketaatan mutlak kepada Nabi (s.a.w) dan Allah (s.w.t) dan ia juga merupakan dalil yang paling kuat tentang kemaksuman beliau.
Kemaksuman dalam ayat Lā Yanālu ʽAhd Az-Zālimīn
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ. البقره / 124.
Dan (ingatlah), ketika Nabi Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa Kalimah (suruhan dan larangan), maka Nabi Ibrahim pun menyempurnakannya. (Setelah itu) Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku melantikmu menjadi Imam bagi umat manusia”. Nabi Ibrahim pun memohon dengan berkata: “(Ya Tuhanku!) Jadikanlah juga daripada keturunanku (Imam)”. Allah berfirman: “(Permohonanmu diterima, tetapi) janjiKu ini tidak akan didapati oleh orang-orang yang zalim.” – Surah Al-Baqarah ayat 124.
Ayat ini menyabitkan bahawa Allah (s.w.t) menjadikan maqam Imamah sebagai maqam yang paling tinggi di atas maqam Nubuwwah. Selain itu ia menyabitkan juga tentang kemaksuman para Imam kerana Ibrahim (a.s) sudah pun menjadi seorang Nabi, dilantik pula menjadi seorang Imam. Tatkala sampai ke maqam Imamah, baginda melihat keagungan dan kebesaran maqam ini, lantas baginda memohon daripada Allah supaya dikurniakan juga martabat ini kepada zuriatnya. Namun Allah (s.w.t) memberikan jawapan mutlak kepada Khalilnya iaitu janji-Ku ini tidak akan diperolehi orang yang zalim.
Ini bermaksud maqam Imamah hanya dikhususkan kepada mereka yang tidak melakukan kezaliman sepanjang riwayat hidupnya. Untuk membuktikan kemaksuman daripada ayat ini, kita memerlukan sedikit mukadimah yang ringkas iaitu:
Penggunaan kalimah Imam dalam ayat tersebut:
Di dalam ayat ini, Allah (s.w.t) menggunakan kalimah Imam yang bermaksud pemimpin dan «من يؤتم به». Perlu diketahui bahawa maknanya ialah orang ramai mempunyai tanggungjawab mengikutinya secara mutlak dalam seluruh urusan hidup, ucapan, perbuatan, akhlak, akidah dan lain-lain lagi. Individu seperti ini hendaklah maksum dari sebarang kesalahan dan kesilapan di mana kita akan lanjutkan nanti subjek ini di dalam perbahasan dalil ʽAqlī nanti.
Fakhrul Rāzī, seorang ahli tafsir tersohor Ahlusunnah berkata bahawa kemaksuman adalah perlu untuk Imam:
المسألة الرابعة: قوله: «إِنّى جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا» يدل على أنه عليه السلام كان معصوماً عن جميع الذنوب لأن الإمام هو الذي يؤتم به ويقتدى، فلو صدرت المعصية منه لوجب علينا الاقتداء به في ذلك، فيلزم أن يجب علينا فعل المعصية وذلك محال لأن كونه معصية عبارة عن كونه ممنوعاً من فعله وكونه واجباً عبارة عن كونه ممنوعاً من تركه والجميع محال.
الرازي الشافعي، فخر الدين محمد بن عمر التميمي (متوفاى604هـ)، التفسير الكبير أو مفاتيح الغيب، ج4، ص37، ناشر: دار الكتب العلمية – بيروت، الطبعة: الأولى، 1421هـ – 2000م.
Masalah ke-empat: Firman-Nya: “Sesungguhnya Aku jadikan engkau Imam untuk manusia” menunjukkan baginda (a.s) maksum dari seluruh dosa kerana Imam ialah orang yang ditaati dan diikuti. Jikalau ia melakukan maksiat maka wajib ke atas kita untuk mengikutinya di dalam perbuatan maksiat tersebut. Ianya mustahil kerana maksiat ialah sesuatu yang dilarang dari melakukannya. Andainya melakukan maksiat itu wajib, maka meninggalkannya juga dilarang. Namun semua andaian ini mustahil.
Apakah makna Imāmah?
Sebahagian ulama Sunnī berusaha untuk membuktikan maksud “Sesungguhnya Aku jadikan engkau Imām untuk manusia” hanyalah maqam risalah semata-mata, orang ramai bertanggung jawab mengikuti Imām. Menurut golongan ini, kita wajib taat kepada para nabi, oleh itu makna Imām di sini ialah kenabian, bukan Imām yang dimaknai oleh golongan Syiah.
Sangat jelas pandangan tersebut tidak dapat diterima kerana kerana tidak dapat dinafikan, setelah bertahun-tahun nabi Ibrahim (a.s) diuji dengan percubaan besar seperti penyembelihan Ismāʽīl, dilempar ke dalam api, meninggalkan Ismāʽīl di gurun sahara dan lain-lain lagi ujian, akhirnya baginda telah diberikan sebuah kedudukan baru yang bukan dari maqam Nubuwwah di zaman kenabian baginda. Lagipun setelah mendapat kedudukan Imām, baginda lantas memohon kedudukan ini daripada Allah untuk keturunannya. Jikalau makna Imam dalam ini adalah kenabian, maka tidak ada maknalah nabi Ibrāhim dijadikan nabi untuk manusia buat kali kedua.
ʽAllamah Ṭabāṭaba’ī menulis tentang perkara ini:
قوله تعالى: إِنِّي جاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِماماً، أي مقتدى يقتدي بك الناس، و يتبعونك في أقوالك و أفعالك، فالإمام هو الذي يقتدي و يأتم به الناس، و لذلك ذكر عدة من المفسرين أن المراد به النبوة، لأن النبي يقتدي به أمته في دينهم، قال تعالى: «وَ ما أَرْسَلْنا مِنْ رَسُولٍ، إِلَّا لِيُطاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ»: النساء- 63، لكنه في غاية السقوط.
أما أولا: فلأن قوله: إِماماً، مفعول ثان لعامله الذي هو قوله:
جاعِلُكَ و اسم الفاعل لا يعمل إذا كان بمعنى الماضي، و إنما يعمل إذا كان بمعنى الحال أو الاستقبال فقوله، إِنِّي جاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِماماً، وعد له ع بالإمامة في ما سيأتي، مع أنه وحي لا يكون إلا مع نبوة، فقد كان (ع) نبيا قبل تقلده الإمامة، فليست الإمامة في الآية بمعنى النبوة (ذكره بعض المفسرين.)
و أما ثانيا: فلأنا بينا في صدر الكلام: أن قصة الإمامة، إنما كانت في أواخر عهد إبراهيم ع بعد مجيء البشارة له بإسحق و إسماعيل، و إنما جاءت الملائكة بالبشارة في مسيرهم إلى قوم لوط و إهلاكهم، و قد كان إبراهيم حينئذ نبيا مرسلا، فقد كان نبيا قبل أن يكون إماما فإمامته غير نبوته.
طباطبايى، سيد محمد حسين (متوفاى 1412هـ)، الميزان فى تفسير القرآن، ج1، ص271، ناشر: منشورات جماعة المدرسين في الحوزة العلمية في قم المقدسة، الطبعة: الخامسة، 1417هـ.
Firman Allah (s.w.t):(إِنِّى جاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِماماً)  Imām ialah yang diikuti dan pemimpin di mana orang ramai mematuhinya dalam ucapan dan perbuatan. Oleh kerana itu beberapa ahli tafsir mengatakan: Makna Imāmah ialah Nubuwwah kerana nabi juga adalah orang yang diikuti umatnya dalam agama. Allah (s.w.t) berfirman: وَ ما أَرْسَلْنا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ (dan tidak kami utuskan rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah). Namun ia tidak diterima dengan beberapa dalil:
1. Kalimah Imām adalah Mafʽūl Al-Thānī untuk ʽĀmil-nya, dan ʽĀmil-nya ialah kalimah (جاعلك). Isim Fāʽil tidak akan diletakkan pada makna yang sebelumnya (الماضي) dan ia praktikal pada makna Ḥāl atau Istiqbāl. Maka firman-Nya إِنِّي جاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِماماً menurut kaedah ini adalah janji kedudukan Imāmah untuk baginda untuk akan datang bersama wahyu, bukan Nubuwwah. Sesungguhnya sebelum Imāmah ini sampai, baginda adalah seorang Nabī. Maka Imāmah di dalam ayat tersebut bukanlah bermakna Nubuwwah (menurut sebahagian ahli tafsir)
2. Peristiwa keimāmahan Nabi Ibrahim (a.s) terjadi di penghujung usianya dan setelah datang khabar gembira tentang Isḥāq dan Ismāʽīl. Malaikat telah datang bersama khabar gembira di dalam perjalanan kepada kaum Lūṭ dan kehancuran mereka, sesungguhnya Ibrāhīm adalah Nabi yang diutuskan. Baginda sudah menjadi Nabi sebelum menjadi Imām, maka keimamahan bagida bukanlah kenabian. – Ṭabāṭabā’ī, Sayyid Muḥammad Ḥusayn (meninggal pada tahun 1412 Hijrah), Al-Mīzān Fī Tafsīr Al-Qurān, jilid 1 halaman 271.
Shaykh Al-Kulaynī menukilkan hadis daripada Imām Bāqir (a.s):
عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحُسَيْنِ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَبِي السَّفَاتِجِ عَنْ جَابِرٍ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ عليه السلام قَالَ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ عَبْداً قَبْلَ أَنْ يَتَّخِذَهُ نَبِيّاً وَاتَّخَذَهُ نَبِيّاً قَبْلَ أَنْ يَتَّخِذَهُ رَسُولًا وَاتَّخَذَهُ رَسُولًا قَبْلَ أَنْ يَتَّخِذَهُ خَلِيلًا وَاتَّخَذَهُ خَلِيلًا قَبْلَ أَنْ يَتَّخِذَهُ إِمَاماً فَلَمَّا جَمَعَ لَهُ هَذِهِ الْأَشْيَاءَ وَقَبَضَ يَدَهُ قَالَ لَهُ: يَا إِبْرَاهِيمُ إِنِّي جاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِماماً فَمِنْ عِظَمِهَا فِي عَيْنِ إِبْرَاهِيمَ عليه السلام قَالَ: يَا رَبِّ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قالَ: لا يَنالُ عَهْدِي الظَّالِمِين.
الكليني الرازي، أبو جعفر محمد بن يعقوب بن إسحاق (متوفاى328 هـ)، الأصول من الكافي، ج1 ص175، ناشر: اسلاميه، تهران، الطبعة الثانية،1362 هـ.ش.
Jābir berkata: Saya mendengar Imām Bāqir berkata: Sesungguhnya Allah mengambil Ibrāhīm sebagai hamba sebelum mengambilnya sebagai Nabi, dan menjadikannya Nabi sebelum mengambilnya sebagai Rasul, dan menjadikannya Rasul sebelum mengambilnya sebagai Khalīl, dan menjadikannya Khālil sebelum mengambilnya sebagai Imām. Imām mengumpulkan lima jarinya (untuk dijadikan contoh kelima-lima maqam ini), dikatakan kepada Ibrāhīm: “Wahai Ibrāhīm, sesungguhnya Aku jadikan kamu Imām bagi manusia”. Dengan kebesaran kedudukan ini di  mata Ibrāhīm (a.s), baginda berkata, “Ya Allah, daripada keturunanku?”. Allah (s.w.t) berfirman, “Janjiku ini tidak akan sampai kepada orang yang zalim”. – Al-Kulaynī, Abū Jaʽfar Muḥammad bin Yaʽqūb bin Isḥāq (wafat tahun 328 hijrah), Uṣūl min Al-Kāfī, jiid 1 halaman 175.
Maksud ʽAhdī adalah maqam Imāmah, bukan maqam risālah
Tidak dapat dinafikan lagi, kalimah ʽAhdī menunjukkan Allah tidak akan memberikan maqam Imāmah ini kepada orang yang zalim seperti mana yang diiktiraf oleh para mufassir dan ulama Ahlusunnah seperti Fakhrul Rāzī di dalam tafsirnya mengatakan:
(لاَ يَنَالُ عَهْدِي) جواباً لقوله (وَمِن ذُرِّيَّتِي) وقوله (وَمِن ذُرِّيَّتِي) طلب للإمامة التي ذكرها الله تعالى فوجب أن يكون المراد بهذا العهد هو الإمامة ليكون الجواب مطابقاً للسؤال.
الرازي الشافعي، فخر الدين محمد بن عمر التميمي (متوفاى604هـ)، التفسير الكبير أو مفاتيح الغيب، ج4، ص39، ناشر: دار الكتب العلمية – بيروت، الطبعة: الأولى، 1421هـ – 2000م.
Ayat  (لاَ يَنَالُ عَهْدِي) adalah jawapan kepada  (وَمِن ذُرِّيَّتِي), Ibrahīm dalam ayat ini memohon kedudukan Imāmah yang telah disebut oleh Allah (s.w.t), maka wajiblah maksud ʽAhdī  di sini ialah Al-Imāmah sebagai jawapan kepada soalan. – Al-Rāzī Al-Shāfīʽī, Fakhruddīn Muḥammad bin ʽUmar Al-Tamīmī (meninggal pada tahun 604 Hijrah), Al-Tafsīr Al-Kabīr Aw Mafātīh Al-Ghayb, jilid 4 halaman 39.
Bayḍāwī, salah seorang ulama tafsir Ahlusunnah di dalam tafsir tentang «لاَ يَنَالُ عَهْدِى الظَّالِمِينَ» berkata:
إجابة إلى ملتمسه وتنبيه على أنه قد يكون من ذريته ظلمة وأنهم لا ينالون الإمامة لأنها أمانة من الله تعالى وعهد والظالم لا يصلح لها وإنما ينالها البررة الأتقياء منهم وفيه دليل على عصمة الأنبياء من الكبائر قبل البعثة وأن الفاسق لا يصلح للإمامة.
البيضاوي، ناصر الدين ابوالخير عبدالله بن عمر بن محمد (متوفاى685هـ)، أنوار التنزيل وأسرار التأويل (تفسير البيضاوي)، ج1، ص398، ناشر: دار الفكر – بيروت.
Ayat «قال لا ينال عهدي الظالمين» adalah jawapan kepada permintaan Ibrāhīm (a.s) dan mengingatkan beliau bahawa maqam Imāmah tidak akan sampai kepada orang yang zalim daripada keturunan baginda. Ini disebabkan kedudukan Imāmah adalah amanah Allah dan janji-Nya, manakala orang yang zalim tidak mempunyai kelayakan. Maka hanya insan yang suci dan bertaqwa daripada keturunannya sahaja yang akan sampai kepada maqam Imāmah ini. Ayat ini adalah dalil terhadap kemaksuman para nabi daripada segala dosa besar sebelum Biʽthah. Orang yang fāsiq tidak layak untuk Imāmah. – Al-Baḍawī, Nāsiruddīn Abul Khayr ʽAbduLlah bin ʽUmar bin Muḥammad (meninggal pada tahun 685 Hijrah), Anwār Al-Tanzīl Wa Asrār Al-Ta’wīl (Tafsīr Al-Bayḍāwī) jilid 1 halaman 398.
Ibnu Kathīr Al-Dimashqī di dalam tafsirnya turut mengatakan:
لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ يقول تعالى منبهاً على شرف إبراهيم خليله (عليه السلام) وان الله جعله إماما للناس
ابن كثير الدمشقي،  ابوالفداء إسماعيل بن عمر القرشي (متوفاى774هـ)، تفسير القرآن العظيم، ج1، ص165، ناشر: دار الفكر – بيروت – 1401هـ.
Firman Allah (s.w.t) menegaskan kemuliaan Khalīl-Nya dan menjadikan baginda Imām kepada manusia. – Ibnu Kathīr Al-Dimashqī, Abul Fidā’ Ismāʽīl bin ʽUmar Al-Qarasī (meninggal pada tahun 774 Hijrah), Tafsīr Al-Qurān Al-ʽAẓīm, halaman 165.
Apakah makna zalim dalam ayat tersebut?
Setelah kita menyusuri mukadimah perbahasan ini, pertanyaan yang timbul sekarang ialah: Apakah makna zalim dalam ayat tersebut. Apakah ia meliputi kezaliman orang lain atau hanya termasuk dalam kezaliman nafs iaitu dosa kecil dan besar Miṣdāq zarah kezaliman terhadap nafs?
Tidak dapat dinafikan bahawa dosa dan penderhakaan terhadap perintah-perintah Allah terhitung sebagai kezaliman sebagaimana yang telah Allah (s.w.t) berfirman:
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ. الطلاق / 1.
Barang siapa yang melanggar aturan-aturan hukum Allah maka sesungguhnya ia telah berlaku zalim kepada dirinya. – Al-Ṭalāq ayat 1.
Dalam pandangan riwayat, sekurang-kurangnya martabat dosa ialah zalim pada diri sendiri; iaitu jikalau seseorang itu melakukan dosa satu kali sepanjang riwayat hidupnya, maka hal ini akan menjadi Miṣdāq kepada zalim. Manakala janji Allah ini tidak akan terkena kepada orang yang zalim. Oleh itu Imām hendaklah maksum.
Shaykh Sādūq menulis tentang hal ini seperti berikut:
وَقَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ «لا يَنالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ» عَنَى بِهِ أَنَّ الْإِمَامَةَ لَا تَصْلُحُ لِمَنْ قَدْ عَبَدَ صَنَماً أَوْ وَثَناً أَوْ أَشْرَكَ بِاللَّهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ وَإِنْ أَسْلَمَ بَعْدَ ذَلِكَ وَالظُّلْمُ وَضْعُ الشَّيْءِ فِي غَيْرِ مَوْضِعِهِ وَأَعْظَمُ الظُّلْمِ الشِّرْكُ. قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ «إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ» وَكَذَلِكَ لَا تَصْلُحُ الْإِمَامَةُ لِمَنْ قَدِ ارْتَكَبَ مِنَ الْمَحَارِمِ شَيْئاً صَغِيراً كَانَ أَوْ كَبِيراً وَإِنْ تَابَ مِنْهُ بَعْدَ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ لَا يُقِيمُ الْحَدَّ مَنْ فِي جَنْبِهِ حَدٌّ فَإِذَا لَا يَكُونُ الْإِمَامُ إِلَّا مَعْصُوماً وَلَا تُعْلَمُ عِصْمَتُهُ إِلَّا بِنَصِّ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ صلي الله عليه وآله لِأَنَّ الْعِصْمَةَ لَيْسَتْ فِي ظَاهِرِ الْخِلْقَةِ فَتَرَى كَالسَّوَادِ وَالْبَيَاضِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ وَهِيَ مَغِيبَةٌ لَا تُعْرَفُ إِلَّا بِتَعْرِيفِ عَلَّامِ الْغُيُوبِ عَزَّ وَجَل.
الصدوق، ابوجعفر محمد بن علي بن الحسين (متوفاى381هـ)، معاني الأخبار، ص131، ناشر: جامعه مدرسين، قم، اول، 1403 ق.
همو: الخصال، ص310، تحقيق: علي أكبر الغفاري، ناشر: جماعة المدرسين في الحوزة العلمية ـ قم، 1403هـ ـ 1362ش
Firman Allah: «لا يَنالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ» bermakna Imāmah tidak layak untuk orang yang menyembah berhala, atau selain Allah atau juga syirik dengan Allah walaupun dengan sekelip mata, walau pun setelah itu ia masuk Islam kembali. Zalim ialah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya manakala syirik adalah zalim yang paling besar. Allah (s.w.t) berfirman tentang ini: «إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ» Oleh itu maqam Imamah tidak layak untuk orang yang melakukan sesuatu pekerjaan haram, samada kecil atau besar meskipun setelah itu ia bertaubat. Begitu juga orang perlu dihukum Had, tidak boleh melakukan hukum Had ke atas orang lain. Dengan ini Imām perlu maksum dan ia tidak diketahui melainkan dengan Naṣ Ilahi melalui lisan Nabi-Nya (s.a.w), kerana kemaksuman bukanlah pada penampilan zahir manusia, dan bukanlah seperti hitam dan putih yang dilihat dengan mata, bahkan kemaksuman adalah sifat tersembunyi. Ia tidak dapat dikenal melainkan dengan pengenalan Yang Maha Mengetahui perkara ghaib. – Al-Ṣadūq, Abū Jaʽfar Muḥammad bin ʽAlī bin Al-Ḥusayn (meninggal pada tahun 381 Hijrah) Maʽānī al-Akhbār, halaman 131.
Sebahagian daripada tokoh-tokoh Ahlusunnah juga langsung menyebut bahawa manusia fāsiq tidak dijanjikan kedudukan Imāmah. Abū Bakr Jaṣṣaṣ Al-Rāzī menulis tentang ini:
فثبت بدلالة هذه الآية بطلان إمامة الفاسق وأنه لا يكون خليفة وأن من نصب نفسه في هذا المنصب وهو فاسق لم يلزم الناس اتباعه ولا طاعته.
الجصاص الرازي الحنفي، أبو بكر أحمد بن علي (متوفاى370هـ)، أحكام القرآن، ج1، ص86، تحقيق: محمد الصادق قمحاوي، ناشر: دار إحياء التراث العربي – بيروت – 1405هـ.
Maka sabitlah dalil-dalil ayat ini tentang kebatilan Imāmāh untuk orang yang fāsiq kerana ia tidak boleh menjadi khalifah. Jikalau orang yang fāsiq melantik dirinya dengan gelaran ini, manusia tidaklah wajib taat kepadanya. – Al-Jaṣāṣ Al-Rāzī Al-Ḥanafī, Abū Bakr Aḥmad bin ʽAlī (meninggal pada tahun 370 Hijrah), Aḥkām Al-Qur’ān, jilid 1, halaman 86.
Menariknya, salah seorang sejarawan besar Ahlusunnah bernama Ibnu ʽAyyinah beranggapan bahawa perlantikan orang yang zalim sebagai Imām seumpama melantik serigala menjadi gembala:
وعن ابن عيينة لا يكون الظالم إماما قط وكيف يجوز نصب الظالم للإمامة والإمام إنما هو لكف الظلمة فإذا نصب من كان ظالما في نفسه فقد جاء المثل السائر من استرعى الذئب ظلم.
الزمخشري الخوارزمي، ابوالقاسم محمود بن عمرو بن أحمد جار الله (متوفاى538هـ)، الكشاف عن حقائق التنزيل وعيون الأقاويل في وجوه التأويل، ج1، ص211، تحقيق: عبد الرزاق المهدي، بيروت، ناشر: دار إحياء التراث العربي.
النسفي، أبو البركات عبد الله ابن أحمد بن محمود (متوفاى710هـ)، تفسير النسفي، ج1، ص69، طبق برنامه الجامع الكبير.
أبي حيان الأندلسي، محمد بن يوسف (متوفاى745هـ)، تفسير البحر المحيط، ج1، ص549، تحقيق: الشيخ عادل أحمد عبد الموجود – الشيخ علي محمد معوض، شارك في التحقيق 1) د.زكريا عبد المجيد النوقي 2) د.أحمد النجولي الجمل، ناشر: دار الكتب العلمية – لبنان/ بيروت، الطبعة: الأولى، 1422هـ -2001م.
Dairipada Ibnu ʽAyyinah yang berkata: Orang zalim tidak akan menjadi Imām. Bagaimana orang yang zalim dibolehkan menjadi Imam sedangkan falsafah kewujudan Imām ialah menghalang kezaliman. Jikalau seseorang yang zalim dilantik menjadi Imām, ia diumpamakan kezaliman melantik serigala menjadi gembala. – Al-Zamakhsharī, Abul Qāsim Maḥmud bin ʽAmrū bin Aḥmad JāraLlah (meninggal tahun 538 Hijrah), Al-Kāshshāf ʽAn Ḥaqā’iq Al-Tanzil Wa ʽUyūn Al-Aqāwīl Fī Wujūh Al-Ta’wīl, jilid 1 halaman 211; Al-Nasafī, Abū Al-Barakāt ʽAbduLlah Ibn Aḥmad bin Maḥmud (meninggal pada tahun 710 Hijrah) Tafsīr Al-Nafasī, jilid 1 halaman 69; Abī Hayyān Al-Andalusī, Muḥammad bin Yūsuf (meninggal pada tahun 745), Tafsīr Al-Bahr Al-Muḥīṭ, jilid 1 halaman 549.
Zamakhshārī di dalam kitab Al-Kashāf menulis:
«لا ينال عهدي الظالمين» وقرىء ( الظالمون ) أي من كان ظالما من ذريتك لا يناله استخلافي وعهدي اليه بالإمامة وإنما ينال من كان عادلا بريئا من الظلم وقالوا في هذا دليل على ان الفاسق لا يصلح للإمامة.
الزمخشري الخوارزمي، ابوالقاسم محمود بن عمرو بن أحمد جار الله (متوفاى538هـ)، الكشاف عن حقائق التنزيل وعيون الأقاويل في وجوه التأويل، ج1، ص211، تحقيق: عبد الرزاق المهدي، بيروت، ناشر: دار إحياء التراث العربي.
«لا ينال عهدي الظالمين» Sebahagian orang yang zalim disebut dengan makna: Mereka yang zalim daripada keturunan kamu,  pengganti dan janji-Ku untuk kedudukan Imām tidak akan sampai kepadanya. Kedudukan tersebut hanya akan sampai kepada mereka yang adil iaitu bebas dari kezaliman. Mereka mengatakan ini adalah dalil bahawa orang yang fāsiq tidak berhak untuk Imāmah. – Al-Zamakhsharī, Abul Qāsim Mahmūd bin ʽAmrū bin Aḥmad JāraLlah (meninggal pada tahun 538 Hijrah), Al-Kāshif ʽAn Ḥaqā’iq Al-Tanzīl Wa ʽUyūn Al-Aqāwīl Fī Wujūh Al-Ta’wīl, jilid 1 halaman 211
Bayḍāwī berkata:
«قال لا ينال عهدي الظالمين» إجابة إلى ملتمسه وتنبيه على أنه قد يكون من ذريته ظلمة وأنهم لا ينالون الإمامة لأنها أمانة من الله تعالى وعهد والظالم لا يصلح لها وإنما ينالها البررة الأتقياء منهم وفيه دليل على عصمة الأنبياء من الكبائر قبل البعثة وأن الفاسق لا يصلح للإمامة.
البيضاوي، ناصر الدين ابوالخير عبدالله بن عمر بن محمد (متوفاى685هـ)، أنوار التنزيل وأسرار التأويل (تفسير البيضاوي)، ج1، ص397 ـ 398، ناشر: دار الفكر – بيروت.
Ayat «قال لا ينال عهدي الظالمين» adalah jawapan kepada permintaan Ibrāhīm (a.s) dan mengingatkan beliau bahawa maqam Imāmah tidak akan sampai kepada orang yang zalim daripada keturunan baginda. Ini disebabkan kedudukan Imāmah adalah amanah Allah dan janji-Nya, manakala orang yang zalim tidak mempunyai kelayakan. Maka hanya insan yang suci dan bertaqwa daripada keturunannya sahaja yang akan sampai kepada maqam Imāmah ini. Ayat ini adalah dalil terhadap kemaksuman para nabi daripada segala dosa besar sebelum Biʽthah. Orang yang fāsiq tidak layak untuk Imāmah. –Al-Baḍawī, Nāsiruddīn Abul Khayr ʽAbduLlah bin ʽUmar bin Muḥammad (meninggal pada tahun 685 Hijrah), Anwār Al-Tanzīl Wa Asrār Al-Ta’wīl (Tafsīr Al-Bayḍāwī) jilid 1 halaman 398.
Keputusannya, Ahlul Bayt adalah maksum menurut empat ayat ini.

Tidak ada komentar: